Jumat, 12 Desember 2014

ISRA' MI'RAJ: Kisah Perjalanan Muhammad SAW Soal Perintah Shalat 5 Waktu


Para ustadz, ustazah dan bahkan kiyai pada perayaan Isra' Mi'raj baik di surau, masjid dan majelis taklim di kampung, kerap mengangkat cerita dialog antara Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa, yaitu menyangkut perintah shalat lima waktu bagi umat Islam dari Allah.

Kisah perjalanan Rasullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa lalu naik ke langit pertama sampai ke langit ketujuh disampaikan oleh para da'i dengan jelas, terang dan meski kadang disertai guyonan namun makna dari Isra' Mi'raj itu sendiri tetap dapat dihayati dan diharapkan dapat diamalkan dengan baik.

Ceramah disertai guyonan dimaksudkan agar khalayak tak merasa bosan yang tiap tahun selalu pesan serupa disampaikan. Tentu dai harus pandai mengemas, tanpa harus mengurangi pesan dari Isra' Mi'raj itu sendiri.

Terlebih bagi anak usia dini, cerita perjalanan Nabi Muhammad SAW yang ditemani Malaikat Jibril dengan berkendara Buraq makin mengundang rasa ingin tahu mendalam. Apa itu malaikat, kendaraan Buraq.
Penjelasan para da'i tenang hal ini kepada anak-anak biasanya disampaikan dengan lugas. Tentu saja disertai dialog usai ceramah sehingga penghayatan anak usia belia makin menyentuh hati.
Di setiap langit, Rasulullah bertemu Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad hingga sampai Langit ketujuh bertemu dengan Nabi Musa a.s.

Nabi Muhammad, dalam kisah tersebut, di setiap perjalanan dilihatkan pemandangan-pemandangan hingga dilihatkannya Surga dan Neraka. Ketika itu Rasullah bertanya kepada Malaikat Jibril.
Jibril pun menjelaskan semua pertanyaan Rasulullah hingga sampailah Nabi Muhammad menuju ke khadirat Allah S.W.T yang kemudian disebut Sidratul Muntaha.
Shalat 5 Waktu

Rasulullah ketika menghadap kehadirat Allah tanpa ditemani Malaikat Jibril. Disana Muhammad diperintahkan segera membawa Amanah Allah untuk Nabi Muhammad dan umatnya, yaitu shalat 50 waktu dalam sehari semalam.

Lantas, kembalilah Nabi Muhammad SAW dan sesampainya di langit ketujuh beliau bertemu Nabi Musa a.s..

"Wahai Muhammad. Apa yang Engkau bawa dari Tuhanmu ?." kata Nabi Musa.

"Menjalankan Shalat 50 waktu dalam sehari semalam." jawab Nabi Muhammad.

"Kembalilah Engkau pada Tuhanmu dan Mintalah keringanan," kata Nabi Musa.

Nabi Muhammad kembali kehadirat Allah meminta keringanan. Allah pun meringankan lima waktu jadi tinggal 45 waktu shalat yang harus dijalankan.

Pulanglah Nabi dan bertemu lagi dengan Nabi Musa.

"Apakah yang dikatakan Tuhanmu,?" tanya Nabi Musa.

"Allah telah memberikan keringanan untukku dan umatku yaitu Shalat 45 waktu," jawab Muhammad.

Dalam kisah ini pula digambarkan Nabi Muhammad SAW mondar-mandir menghadap Allah untuk meminta keringanan shalat dalam sehari, yang akhirnya shalat menjadi lima waktu.

"Bagaimana? Apakah Tuhanmu memberi keringanan,?" tanya Nabi Musa.

"Iya," jawab Muhammad.

"Berapa?" "Tinggal lima waktu".

"Kembalilah Engkau pada Tuhanmu dan mintalah keringanan lagi. Sungguh umat kamu tidak akan kuat," perintah Nabi Musa kepada Muhammad.

Tapi, apa jawaban Nabi. "Wahai Tuan Nabi Musa. Saya malu pada Tuhan, Saya rela dan biarkanlah Saya ikhlas dan Rido tentang apa yang diberikan Allah kepada Saya".

Jadi, akhirnya Nabi pun pulang dan membawa perintah untuk melaksanakan lima waktu Shalat dalam sehari semalam yaitu, yang sekarang dikenal sebagai shalat Zuhur , Asar, Maghrib, Isya dan Subuh.

Sejatinya perjalanan Nabi Muhammad, dalam Isra' Mi'raj itu, adalah untuk menyadarkan kaum kafir Qurais agar percaya bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad itu benar.
Namun, tanggapan kaum Qurais."Kami tidak percaya tentang apa yang Muhammad ceritakan pada kami. Karena jarak Antara Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa tidaklah pendek dan tidak pula sampai dalam semalam. "Mereka (kaum Qurais) menganggap bahwa cerita Nabi Muhammad itu mengada-ngada.

Bukti kekuasaan Allah Kepala Bidang Pengkajian Alquran Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMA) Balitbang Diklat Kementerian Agama, Dr. H. Muchlis M Hanafi, MA menjelaskan bahwa peristiwa peristiwa itu bukan hanya suatu bukti kekuasaan Allah yang tiada batas, melainkan jika mencermati retorika penjelasan Alquran, maka yang bisa ditangkap adalah suatu pesan dan kesan bahwa peristiwa Isra' Mi'raj merupakan simbol perpindahan misi kenabian.

Perpindahan misi kenabian yang dimaksud yaitu dari yang sebelumnya diamanahkan kepada bani Israil kemudian berpindah kepada bangsa Arab (umat Islam).

Hampir 2.300 tahun misi kenabian dipercayakan kepada bani Israil (Israil adalah nama lain dari Nabi Ya'qub). Tapi apakah kemudian yang terjadi? Mereka tega membunuh para nabi, memutarbalikkan, menyelewengkan, serta mengganti ayat-ayat al-Kitab. Karena itulah, peristiwa Isra' Mi'raj ditandai dengan penaklukan Baytul Maqdis oleh Rasulullah dalam waktu sekejap di malam hari, di mana Nabi Musa (salah seorang pemimpin bani Israil) tidak bisa menaklukkannya kecuali setelah 40 tahun berputar-putar bersama bani Israil di sekeliling Baytul Maqdis.

Hal ini menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan peristiwa pemindahan misi kenabian dari kalangan bani Israil kepada bangsa Arab yang berasal dari keturunan Ismail bin Ibrahim.

Para ulama menyebut bahwa Ismail dan Ishaq adalah dua bersaudara. Dari Ishaq lahirlah Ya'qub yang melahirkan keturunan bani Israil, sedangkan Ismail melahirkan keturunan sampai kepada Nabi Muhammad.
Misi Damai
Maka peristiwa ini merupakan amanah bagi umat Islam agar umat Nabi Muhammad bisa mengejawantahkan dan mewujudkan misi kedamaian di tengah-tengah umat manusia ini.

Kepemimpinan Nabi Muhammad diutus oleh Allah ke muka bumi untuk memimpin ummat manusia mengenal Tuhan, beramal shaleh, dan berakhlakul karimah. Tentu tugas itu tidak mudah. Apalagi, Rasulullah ini harus menghadapi masyarakat Arab Jahiliyah yang tidak mengenal Tuhan yang sebenarnya.

Di dalam Alqur'an banyak profil kepemimpinan yang ditampilkan. Dalam surah an-Naml ada kisah yang sangat populer yang dikenal dengan Ratu Balqis.

Walaupun nama Balqis itu sendiri tak pernah disebut secara tegas di dalam Al-Qur'an. Di dalam Alqur'an hanya dijelaskan bahwa perempuan itu adalah seorang ratu yang berkuasa di negeri Saba. Ada juga seorang pemuda yang dipilih oleh Allah untuk menjadi pemimpin bani Israil ketika Bani Israil menginginkan seorang pemimpin yang tangguh yang bisa mengayomi mereka, Allah pun memilihkan seorang yang bernama Thalut.

Dalam kisah Nabi Yusuf juga bisa meneladani profil kepemimpinan seorang yang dipercayai untuk menjadi pengelola perbendaharaan negara, mengelola logistik negara di saat negeri itu mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dari tiga kisah yang ditampilkan oleh al-Qur'an ini, bisa mengambil beberapa pelajaran.

Pertama, bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat yang bijak, serta juga harus memiliki keilmuan dan kecerdasan yang memadai. Kisah Ratu Balqis (ratu Kerajaan Saba) ketika mendapatkan surat dari Nabi Sulaiman.

Ratu Balqis dan kaumnya adalah penyembah matahari. Dari surat Nabi Sulaiman itu diketahui bahwa Nabi Sulaiman menyeru Ratu Balqis agar tunduk kepada Nabi Sulaiman dan mengikrarkan dirinya tunduk kepada Allah. Saat itu, apakah yang dilakukan oleh Ratu Balqis? Dia panggil seluruh pembantunya, lalu dikatakannya bahwa ia telah mendapat surat dari Nabi Sulaiman. Setelah menyampaikan isi surat Nabi Sulaiman itu, kemudian dia ajak para pembantunya untuk bermusyawarah.

Hal ini dilakukan karena dia adalah seorang pemimpin yang tak pernah memutuskan apa pun, kecuali dia bermusyawarah dahulu dengan para pembantunya. Dia ajak para pembantunya untuk berdialog. Dia bukan tipe pemimpin yang otoriter.

Sekarang ini bukan zamannya lagi seorang pemimpin bersikap otoriter. Melalui cara dialog inilah sekarang bagaimana kepemimpinan itu bisa berjalan dengan baik. Seperti yang termaktub di surah An-Naml ayat 33 sampai 44, diceritakan bahwa para pembantunya menyarankan, karena kerajaan mereka (kerajaan Saba) memiliki kekuatan, maka mereka bisa saja melawan kerajaan Nabi Sulaiman.

Dengan bijaknya Ratu Balqis memberikan pertimbangan, bahwa para raja itu kalau sudah masuk ke suatu negeri, maka yang akan terjadi hanya dua: mereka bisa membuat kerusakan di negeri itu ataupun mereka akan menguasai negeri itu dengan semena-mena.

Ratu Balqis tentunya tidak menginginkan hal itu terjadi. Dia ternyata lebih memilih jalan damai. Ratu Balqis pun kemudian menyatakan untuk mengirimi hadiah saja kepada Nabi Sulaiman, setelah itu menunggu reaksi darinya.

Seorang pemimpin harus bisa menjaga amanah. Kepemimpinan adalah suatu tanggung jawab. Kepemimpinan adalah suatu kontrak sosial yang harus diwujudkan sesuai dengan keinginan orang yang memberikan kepercayaan itu.

Inilah beberapa pelajaran yang bisa diambil dari keteladanan yang dikisahkan oleh al-Qur'an melalui kisah-kisah para pemimpin yang memiliki integritas, keilmuan, amanah, dan sikap bijak dalam kepemimpinannya.

Berkaitan dengan kepemimpinan, umat Islam mengemban amanah dan tanggung jawab yang besar di dunia ini untuk mewujudkan misi kedamaian yang juga menjadi misi semua agama. Hal ini tak lain karena umat Islam sudah dipilih oleh Allah untuk menjadi khayra ummah (umat terbaik).

Allah berfirman: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali `Imrn : 110). (Antara)


Minggu, 07 Desember 2014

Kewajiban amar ma'ruf nahi munkar bagi seorang Muslim

Jika kita melihat di zaman sahabat Rasulullah saat Abu Bakar dalam pidato politiknya yang pertama beliau berkata, “Wahai rakyat, aku dipilih memimpin kalian bukan berarti terbaik dari kalian. Kalau aku benar, dukunglah dan kalau salah, luruskan. Kejujuran adalah amanat, kebohongan adalah khianat. Orang kuat di antara kalian adalah orang lemah disisiku sampai kuambil hak daripadanya. Orang lemah diantara kalian adalah kuat di sisiku sampai kuambilkan hak untuknya, insnya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan ditimpakan kehinaan. Tidaklah suatu kebejatan (gay) melanda suatu bangsa, kecuali Allah akan meratakan siksaannya. Taatlah kepadaku, selama aku taat kepada Allah. Bila aku melanggar Allah dan Rasul-Nya, tidak usah ditaati. Lakukanlah shalat kalian semoga Allah merahmati kalian.
Prinsip dasar itu diikuti oleh Umar bin Khatab, bermodal jiwa besar, ia berkhotbah, “Barangsiapa mendapatkan ketidakberesan padaku, hendaklah diluruskan.” Lalu berdiri seorang seraya berkata, “Sungguh kalau anda tidak beres kami akan luruskan dengan pedang kami.” Umar tidak marah sambil menyambut dengan ungkapannya, “Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara umat Muhammad Shallalahu alaihi wa sallam ada yang berani meluruskan Umar dengan pedangnya.”
Selain kebesaran jiwa pemimpin, hal itu menunjukkan keberanian umat islam dalam memantau, hal itu menunjukkan kebernaian umat islam dalam memantau sepak terjang pemimpinnya. Mempertanyakan sikap dan perilaku perimpin bukanlah suatu hal yang tabu bagi umat Islam. Suatu kali Umar bin Khattab berceramah, “Wahai rakyat dengarkanlah dan taati, Maka berdiri seseorang; “Tidak perlu mendengar dan taat wahai Ibnu Khatab.” Umar bertanya: kenapa? Orang itu memprotes, anda telah membagi-bagi harta rampasan perang dan setiap orang dapat satu baju, sementara kami melihat anda memakau dua baju, dari mana yang satunya? Umar menjawab, “Hai Abdullah bin umar (anaknya) berdiri dan jelaskan. Abdullah bin umar berkata, “Aku melihat baju ayahku pendek, maka aku berikan bajuku kepadanya supaya cukup.”
Demikian keberanian rakyat dalam Islam mempertanyakan kekayaan pemimpinnya. Mengapa demikian? Karena kepimpinan bukan suatu prestasi untuk mengumpulkan kekayaan dan tidak pula diperoleh dengen mengahambur-hamburkan kekayaan. Tetapi kepemimpinan adalah amanah yang tanggung jawab besar sekali.
Alhamdulillah dari beberapa oramas Islam di Indonesia berani untuk beramar maruf nahi munkar seperti demontrasi mentang kedatangan lady gaga, demontrasi menentang missword, dan yang terakhir demontrasi anti Syiah.
Seorang Muslim bukanlah semata-mata baik terhadap dirinya sendiri, melakukan amal saleh dan meninggalkan maksiat serta hidup di lingkungan khusus, tanpa peduli terhadap kerusakan yang terjadi di masyarakatnya. Muslim yang benar-benar Muslim adalah orang yang saleh pada dirinya dan sangat antusias untuk memperbaiki orang lain. Dialah yang digambarkan oleh Allah Swt dalam QS Al-‘Ashr,
“Demi masa. Semua manusia kelak akan celaka di akhirat. Orang-orang yang tidak celaka kelak di akhirat henyalah orang-orang yang beriman dan beramal shalih dengan penuh kesabaran” (QS Al-‘Ashr: 1-3).
Sejarah (Islam) belum pernah mencatat suatu masa seperti saat ini; tentang lemahnya keyakinan, kerusakan akhlak, penyimpangan dari batas-batas agama dan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, yang keduanya merupakan pagar (dinding) bagi (agama) Islam dan sebagai bukti atas wujud adanya keimanan.
Dan tiada suatu umat, dimana masyarakatnya telah meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, melainkan Allah akan menghinakan mereka dan mencabut cahaya ilmu dari hati sanubari para ulamanya. Justru, kesesatan serta kejahilan terhadap segala persoalan agama dan urusan dunia akan meliputi para awam, sehingga mereka tidak dapat membedakan antara kemajuan dan kemunduran.
Tentang keadaan di atas, Firman Allah SWT. :
“Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka, bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang salih.” (Al Jatsiah 21)
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala  telah memisahkan mereka yang beriman daripada yang tidak beriman, pada urutan ayat ini. Mereka disifati dengan saling membantu untuk menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta (mereka) mendirikan salat dan menunaikan zakat.
Imam Al Ghazali berkata : “Sesungguhnya aku telah mendapatkan pengertian dari ayat ini, bahwa barangsiapa yang meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, maka ia jelas telah keluar dari keimanan.”
Dan yang memperkuatkan atas ini adalah, sabda dari Rasulullah saw. : “Barangsiapa di antara kalian melihat suatu perbuatan munkar lalu mengubah dengan tangannya, maka ia sudah terbebas dari kesalahan. Dan barangsiapa yang tiada sanggup untuk mengubah dengan tangannya, lalu mengubah dengan lisannya, maka sungguh ia sudah terbebas dari kesalahan. Dan barangsiapa tiada sanggup untuk mengubah dengan lisannya, lalu mengubah dengan hatinya (yakni mengingkarinya), maka ia sudah terbebas dari kesalahan. Dan yang terakhir adalah tingkatan iman yang terlemah.” (HR. An Nasai)
Kita wajib menyampaikan walaupun terhadap orang-orang kafir yang jelas akan di azab dan di siksa dari neraka, karena nanti kalau kita tidak menyampaikan kepada mereka akan di salahkan oleh Allah kenapa tidak memberi nasihat
Wahai Muhammad, ingatlah ketika sebagian pendeta Yahudi berkata kepada pengikutnya; “Mengapa kalian memberi masehat kepada teman-teman kalian yang durhaka yang Allah akan dinasakan atau Allah akan adzab mereka di akhirat dengan adzab yang berat? Mereka berkata; “Kami tidak ingin disalahkan oleh Tuhan kalian kelak di akhirat. Mudah-mudahan orang-orang yang durhaka itu mau taat kepada Allah (QS Al-Araaf 164).
Orang yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah adalah orang yang paling banyak menasehati sesama (tentunya sesudah dia sendiri mengamalkannya).
Rasulullah Shallalahu alaihi wasalam bersabda, “Orang yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat ialah yang paling banyak berkeliling di muka bumi dengan bernasihat kepada manusia (makhluk Allah).” (HR. Ath-Thahawi)
Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Seseorang tidak mendapatkan status yang tinggi diantara kami dikarenakan sering shalat atau puasa sunnah, melainkan mendaptaknnya karena kemudahan jiwa, kelapangan dada dan ketulusan dalam memberi nasehat”

http://www.arrahmah.com/kajian-islam/kewajiban-amar-maruf-nahi-munkar-muslim.html