Jika kita melihat di zaman sahabat Rasulullah saat Abu Bakar dalam pidato politiknya yang pertama beliau berkata, “Wahai
rakyat, aku dipilih memimpin kalian bukan berarti terbaik dari kalian.
Kalau aku benar, dukunglah dan kalau salah, luruskan. Kejujuran adalah
amanat, kebohongan adalah khianat. Orang kuat di antara kalian adalah
orang lemah disisiku sampai kuambil hak daripadanya. Orang lemah
diantara kalian adalah kuat di sisiku sampai kuambilkan hak untuknya,
insnya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah,
melainkan ditimpakan kehinaan. Tidaklah suatu kebejatan (gay) melanda
suatu bangsa, kecuali Allah akan meratakan siksaannya. Taatlah
kepadaku, selama aku taat kepada Allah. Bila aku melanggar Allah dan
Rasul-Nya, tidak usah ditaati. Lakukanlah shalat kalian semoga Allah
merahmati kalian.“
Prinsip dasar itu diikuti oleh
Umar bin Khatab, bermodal jiwa besar, ia berkhotbah, “Barangsiapa
mendapatkan ketidakberesan padaku, hendaklah diluruskan.” Lalu berdiri
seorang seraya berkata, “Sungguh kalau anda tidak beres kami akan
luruskan dengan pedang kami.” Umar tidak marah sambil menyambut dengan
ungkapannya, “Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menjadikan
diantara umat Muhammad Shallalahu alaihi wa sallam ada yang berani
meluruskan Umar dengan pedangnya.”
Selain kebesaran jiwa
pemimpin, hal itu menunjukkan keberanian umat islam dalam memantau, hal
itu menunjukkan kebernaian umat islam dalam memantau sepak terjang
pemimpinnya. Mempertanyakan sikap dan perilaku perimpin bukanlah suatu
hal yang tabu bagi umat Islam. Suatu kali Umar bin Khattab berceramah,
“Wahai rakyat dengarkanlah dan taati, Maka berdiri seseorang; “Tidak
perlu mendengar dan taat wahai Ibnu Khatab.” Umar bertanya: kenapa?
Orang itu memprotes, anda telah membagi-bagi harta rampasan perang dan
setiap orang dapat satu baju, sementara kami melihat anda memakau dua
baju, dari mana yang satunya? Umar menjawab, “Hai Abdullah bin umar
(anaknya) berdiri dan jelaskan. Abdullah bin umar berkata, “Aku melihat
baju ayahku pendek, maka aku berikan bajuku kepadanya supaya cukup.”
Demikian
keberanian rakyat dalam Islam mempertanyakan kekayaan pemimpinnya.
Mengapa demikian? Karena kepimpinan bukan suatu prestasi untuk
mengumpulkan kekayaan dan tidak pula diperoleh dengen
mengahambur-hamburkan kekayaan. Tetapi kepemimpinan adalah amanah yang
tanggung jawab besar sekali.
Alhamdulillah dari beberapa oramas
Islam di Indonesia berani untuk beramar maruf nahi munkar seperti
demontrasi mentang kedatangan lady gaga, demontrasi menentang missword,
dan yang terakhir demontrasi anti Syiah.
Seorang
Muslim bukanlah semata-mata baik terhadap dirinya sendiri, melakukan
amal saleh dan meninggalkan maksiat serta hidup di lingkungan khusus,
tanpa peduli terhadap kerusakan yang terjadi di masyarakatnya. Muslim
yang benar-benar Muslim adalah orang yang saleh pada dirinya dan sangat
antusias untuk memperbaiki orang lain. Dialah yang digambarkan oleh
Allah Swt dalam QS Al-‘Ashr,
“Demi
masa. Semua manusia kelak akan celaka di akhirat. Orang-orang yang
tidak celaka kelak di akhirat henyalah orang-orang yang beriman dan
beramal shalih dengan penuh kesabaran” (QS Al-‘Ashr: 1-3).
Sejarah
(Islam) belum pernah mencatat suatu masa seperti saat ini; tentang
lemahnya keyakinan, kerusakan akhlak, penyimpangan dari batas-batas
agama dan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, yang keduanya
merupakan pagar (dinding) bagi (agama) Islam dan sebagai bukti atas
wujud adanya keimanan.
Dan tiada suatu umat, dimana masyarakatnya
telah meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, melainkan Allah akan
menghinakan mereka dan mencabut cahaya ilmu dari hati sanubari para
ulamanya. Justru, kesesatan serta kejahilan terhadap segala persoalan
agama dan urusan dunia akan meliputi para awam, sehingga mereka tidak
dapat membedakan antara kemajuan dan kemunduran.
Tentang keadaan di atas, Firman Allah SWT. :
“Apakah
orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka, bahwa Kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang salih.” (Al Jatsiah 21)
Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memisahkan mereka yang beriman daripada yang
tidak beriman, pada urutan ayat ini. Mereka disifati dengan saling
membantu untuk menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar, serta (mereka) mendirikan salat dan menunaikan zakat.
Imam Al Ghazali berkata : “Sesungguhnya
aku telah mendapatkan pengertian dari ayat ini, bahwa barangsiapa yang
meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, maka ia jelas telah keluar
dari keimanan.”
Dan yang memperkuatkan atas ini adalah, sabda dari Rasulullah saw. : “Barangsiapa
di antara kalian melihat suatu perbuatan munkar lalu mengubah dengan
tangannya, maka ia sudah terbebas dari kesalahan. Dan
barangsiapa yang tiada sanggup untuk mengubah dengan tangannya, lalu
mengubah dengan lisannya, maka sungguh ia sudah terbebas dari kesalahan.
Dan barangsiapa tiada sanggup untuk mengubah dengan lisannya, lalu
mengubah dengan hatinya (yakni mengingkarinya), maka ia sudah terbebas
dari kesalahan. Dan yang terakhir adalah tingkatan iman yang terlemah.” (HR. An Nasai)
Kita
wajib menyampaikan walaupun terhadap orang-orang kafir yang jelas akan
di azab dan di siksa dari neraka, karena nanti kalau kita tidak
menyampaikan kepada mereka akan di salahkan oleh Allah kenapa tidak
memberi nasihat
Wahai Muhammad, ingatlah ketika sebagian
pendeta Yahudi berkata kepada pengikutnya; “Mengapa kalian memberi
masehat kepada teman-teman kalian yang durhaka yang Allah akan dinasakan
atau Allah akan adzab mereka di akhirat dengan adzab yang berat? Mereka
berkata; “Kami tidak ingin disalahkan oleh Tuhan kalian kelak di
akhirat. Mudah-mudahan orang-orang yang durhaka itu mau taat kepada
Allah“ (QS Al-Araaf 164).
Orang yang
paling tinggi kedudukannya di sisi Allah adalah orang yang paling banyak
menasehati sesama (tentunya sesudah dia sendiri mengamalkannya).
Rasulullah Shallalahu alaihi wasalam bersabda, “Orang yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat ialah yang paling banyak berkeliling di muka bumi dengan bernasihat kepada manusia (makhluk Allah).” (HR. Ath-Thahawi)
Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Seseorang
tidak mendapatkan status yang tinggi diantara kami dikarenakan sering
shalat atau puasa sunnah, melainkan mendaptaknnya karena kemudahan jiwa,
kelapangan dada dan ketulusan dalam memberi nasehat”
http://www.arrahmah.com/kajian-islam/kewajiban-amar-maruf-nahi-munkar-muslim.html
Minggu, 07 Desember 2014
Kewajiban amar ma'ruf nahi munkar bagi seorang Muslim
20.17
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)






0 komentar:
Posting Komentar